Ekososialisme

Dorongan Akumulasi Menghasilkan Kekayaan untuk Segelintir Orang, Wabah Penyakit bagi Banyak Orang

Tulisan berseri dengan tema “Pagebluk Covid-19 sebagai Bencana Kapitalisme” – Bagian 1

“Virus Corona bejalan melalui pintu depan sebagai monster yang tidak asing”, sebut Mike Davis[1], penulis buku Planet of Slums. Dia ingin mengatakan bahwa sistem ekonomi kita saat ini, telah mengakibatkan terus munculnya wabah penyakit baru atau bentuk mutasi yang baru. Wabah tersebut bukan akibat eksternalitas produksi, akan tetapi konsekuensi dari produksi, sehingga digambarkan bahwa monster itu datang melalui “pintu utama”, tidak melalui “jendela” atau bahkan “atap rumah”.

Kini wabah Covid-19 telah menyebar di lebih dari 190 negara di dunia.[2] Orang-orang mengalami kepanikan sekaligus ketakutan. Tidak sedikit dari mereka yang kebingungan dalam menjelaskan fenomena apa yang sedang mereka hadapi saat ini. Baru seumur hidupnya masyarakat menyaksikan tentang kota yang sebelumnya riuh tak kenal waktu, menjadi begitu sepi, dan tentang mesin-mesin industri yang akhirnya berhenti beroperasi. Jika perang senjata memaksa pemerintah memobilisasi warga, perang melawan Covid-19 warga justru didemobilisasi agar diam di rumah.

Siapa yang Menyebabkan Ini Terjadi

Pagebluk Covid-19 telah merugikan semua orang, akan tetapi, mungkin salah satu penerima manfaatnya adalah “Bumi” yang saat ini kita tinggali. Selama proses karantina berlangsung di beberapa tempat, polusi udara di Bumi berkurang begitu drastis;[3] sungai di Venesia (Italia) yang sebelumnya keruh, menjadi bening dengan ikan-ikan yang menampakan diri ke permukaan;[4] dan langit yang biru akhirnya dapat dinikmati di Kota Jakarta, Wuhan, hingga Manhattan. Bumi secara alami memulihkan tubuhnya. Perubahan iklim yang mengancam seluruh kehidupan yang ada di planet ini akhirnya dapat direm.

Menyaksikan kondisi Bumi tampak sejuk nan asri, beberapa orang menyatakan bahwa “virus corona adalah vaksin untuk menyembuhkan Bumi dari kerusakan yang diakibatkan oleh virus yang bernama manusia.” Pernyataan tersebut mendapatkan respon positif di media sosial dan bahkan sempat trending di twitter pada pertengahan Maret 2020.[5] Ada cuitan yang menulis bahwa “jika manusia musnah, maka Bumi pasti akan indah.” Mereka seolah bersorak riang merayakan pagebluk ini.

Dari pertanyataan tersebut sebenarnya kita mendapati argument yang kontradiktif: mengapa mereka yang mengklaim dirinya virus dan merusak Bumi, tidak mengakhiri hidupnya atau moksa, namun justru begitu senang menyaksikan Bumi begitu nyaman dan layak huni? Apakah benar kita semua bertanggungjawab atas kerusakan di Bumi? Apakah benar bahwa kita virus sementara Covid-19 adalah vaksin untuk menyingkirkan manusia yang berparasit di Bumi?

Anggapan di atas pada kenyataannya keliru dan justru menyederhanakan masalah yang ada. Sebuah studi pada tahun 2017 menunjukan bahwa hanya 100 perusahaan yang bertanggung jawab atas 71% emisi gas rumah kaca secara global.[6] Perusahaan-perusahaan besar di bidang perkebunan kelapa sawit dan kedelai dalam perhitungan Greenpeace bahkan akan menghancurkan sekitar 50 juta hektar hutan hanya dalam tahun 2020. Penghancuran hutan dan ekosistem alami lainnya oleh industri pertanian ini juga memusnahkan keanekaragaman hayati Bumi, diperkirakan sekitar satu juta spesies terancam punah.[7] Dari data ini, kita dapat melihat bahwa tidak semua manusia menjadi pelaku penghancuran ekologi. Dengan gamblang kita dapat menyebut bahwa pelaku perusakan adalah perusahaan-perusahaan besar yang dimiliki oleh para konglomerat (atau disebut juga sebagai kapitalis). Perusahaan-perusahaan milik satu persen orang terkaya itu yang saat ini menguasai lebih dari separuh ekonomi dunia.

Para petani kecil, tukang becak, pedagang asongan, hingga tukang bangunan, yang Soekarno menyebutnya sebagai kaum marhaen, bukanlah “virus” yang menyakiti Bumi sebagaimana yang turut dituduhkan. Untuk bisa makan bergizi seminggu sekali saja mereka kesusahan bagaimana mungkin mereka turut berkontribusi pada rusaknya metabolisme alam. Jika berbicara dalam konteks konsumsi, 10% konsumen terkaya setiap harinya menggunakan lebih dari setengah sumber daya energi di dunia hanya untuk bepergian.[8] Jet pribadi yang orang super kaya gunakan mengeluarkan karbon dioksida 20 kali lebih banyak dari pada pesawat komersial biasa.[9] Sementara itu, sebagian besar orang, terutama di Bumi Selatan, menginjakan kakinya ke pesawat saja bahkan tidak pernah. Artinya, dalam ranah produksi hingga konsumsi, hanya segelintir manusia saja yang merusak Bumi.

Kerusakan Lingkungan dan Metabolisme Alam

Kita perlu bertanya, apakah orang-orang kaya misal Jeff Bezos bersalah sebagai individu? Artinya ketika mereka telah tiada maka Bumi dapat aman dari perusakan?

Mari kita berandai-andai, anggap saja 100 orang terkaya di dunia meninggal dalam waktu yang berdekatan, apakah membuat tidak ada lagi manusia yang menghancurkan ekologi? Coba kita balik pertanyaannya, jika kaum marhaen yang sebelumnya miskin, kita kembali berandai-andai, tetiba salah seorang dari mereka diberi kepemilikan pabrik batu bara atau pabrik semen, apakah mereka tetap tidak merusak lingkungan seperti ketika dia masih miskin?

Tentu jawabannya adalah tidak. Mengubah siapa yang memiliki properti tanpa mengubah cara properti itu dikelola adalah jalan buntu. Kita dapat menganalisisnya dengan pendekatan materialisme historis, bahwa selama manusia mendiami Bumi, tidak selama itu pula Bumi ini dirusak dan dihancurkan dengan membabi buta. Keberadaan manusia awal (hominid) di Bumi sudah berlangsung jutaan tahun.[10] Sebagian besar kehidupan manusia di Bumi dihabiskan dengan cara selaras bersama alam. Dalam catatan sejarah, menunjukan kerusakan ekologi telah berpengaruh terhadap kehidupan manusia sejak masa peradaban kuno, masyarakat kuno Mesopotamia dan Maya diyakini runtuh akibat masalah ekologi.[11] Pada masa Yunani Kuno, Plato (427-347 SM) menulis tentang adanya kerusakan hutan yang mengakibatkan tanah menjadi gersang.[12]

Kerusakan lingkungan pasti akan berakibat pada rusaknya metabolisme alam, sehingga alam tidak mampu memperbaiki dirinya secara alami. Kerusakan lingkungan ini yang dengan gamblang kita saksikan saat ini. Proses perusakan alam secara besar-besaran baru terjadi secara sistematis pada abad ke delapan belas, pada saat kapitalisme mulai lahir.[13]

Sebelum kapitalisme, hubungan manusia dengan alam semesta non-manusia berjalan tidak saling meniadakan. Itu karena secara esensial, manusia adalah bagian dari alam semesta. Tanpa alam semesta, manusia tidak akan dapat hidup. Manusia mengambil (apropriasi) sesuatu dari Bumi (bahan mineral, tumbuhan, atau hewan) untuk kebutuhan mendasarnya, yaitu makan-minum dan sarana berekspresi. Dengan itu, manusia dapat menjalankan tugas historisnya: kerja. Itu mengapa Marx menyebut kerja pada dasarnya adalah “tindakan alam semesta”, karena kerja merupakan ekspresi dari energi alam.

Bagian dari Bumi yang diambil oleh manusia, karena dengan besaran sebatas untuk tujuan mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari (subsisten), dapat kembali diperbaiki oleh metabolisme alam. Cara kerjanya seperti metabolisme di tubuh manusia, karena metabolisme tubuh manusia adalah bagian dari metabolisme alam. Ketika tubuh kita tergores pisau dan berdarah, maka metabolisme tubuh bekerja untuk menyembuhkan luka tersebut. Namun, ketika luka di tubuh kita begitu dalam dan begitu parah, maka metabolisme tubuh kita kesulitan untuk menyembuhkannya. Begitupula ketika patogen (virus atau mikroorganisme) berparasit di tubuh manusia, jika kita dalam kondisi normal, maka sistem imun dari metabolisme tubuh dapat mengalahkan virus tersebut. Akan tetapi ketika patogen terus bermutasi dan menjadi lebih kuat, maka imun tubuh mengalami kesulitan menyingkirkannya. Patogen itu menjadi semakin kuat dan menyebar hingga merusak organ tubuh, bahkan dapat menyebabkan kematian.

Dorongan Akumulasi dan Krisis Ekologi

Dalam sejarah dunia, hanya pada era kapitalisme, manusia melakukan perampokan secara besar-besaran terhadap alam semesta non-manusia. Itu bukan karena jumlah manusia masih sedikit sebagaimana perspektif Malthusian dan juga bukan karena teknologi belum berkembang pesat seperti sekarang. Sebelum kapitalisme, yaitu para era perbudakan dan feodalisme, cara produksi yang berlangsung tidak mendorong manusia untuk terus merampok alam, berbeda dengan kapitalisme.

E. M. Wood[14] dengan presisi menunjukan bahwa kelahiran kapitalisme dimulai ketika muncul dorongan untuk akumulasi akibat adanya hukum memaksa dari pasar di perdesaan Inggris pada abad ke delapan belas. Dorongan tersebut yang berkembang dan meluas mengakibatkan adanya akumulasi primitif. Proses akumulasi primitif ini yang melahirkan kelas sosial baru, yaitu kelas kapitalis yang memiliki sarana produksi (modal), dan kelas buruh (proletariat) yang hanya memiliki tenaga kerjanya untuk bertahan hidup, sehingga mereka harus menjualnya ke kapitalis untuk mendapatkan upah.

Dengan dorongan akumulasi, maka ekonomi kapitalisme berjalan dengan brutal. Bagi Marx, modal adalah nilai yang mengembangkan dirinya untuk mencapai tingkat akumulasi yang begitu besar dan tanpa mengenal batas.[15] Oleh karenanya, modal menerjang setiap penghalang bagi tujuan ekspansinya, termasuk hukum metabolisme alam.

Itu mengapa para kapitalis saling bertarung untuk mendapatkan sumber kekayaan di dunia, yaitu alam dan tenaga kerja.[16] Mereka dipaksa oleh mekanisme pasar untuk terus berkompetisi. Untuk dapat memenangkan kompetisi, maka mereka harus menjarah sebanyak-banyaknya alam dan mengeksploitasi sebanyak mungkin manusia. Liebig mencatat pada awal abad ke 19, terjadi perampokan besar-besaran guano (kotoran burung) di Peru untuk keperluan pertanian modern yang dikembangkan oleh para kapitalis pertanian di Inggris. Guano digunakan sebagai pupuk alami. Kritik Liebig ada dua hal, pertama bahwa penggunaan guano telah memaksa tanah menjadi subur diluar kapasitas alaminya sehingga pada titik tertentu akan merusak unsur hara dalam tanah; kedua, perampokan guano secara besar-besaran untuk menunjang sistem pertanian modern di Inggris akan merusak kondisi reproduksi untuk generasi mendatang. Di era kapitalisme modern saat ini, perusakan ekologi terjadi dengan sangat begitu mengkhawatirkan dan lebih intensif dibanding gambaran Liebig pada awal abad ke 19. Perusahaan-perusahaan besar seakan tidak ada lelahnya untuk mengambil apapun yang memiliki potensi menjadi keuntungan.

Dalam sistem yang berjalan saat ini, tidak akan pernah ada pemilik modal yang puas dengan kekayaan yang dimilikinya. Modal harus terus mereka gerakan untuk terus mendulang keuntungan. Ketika mereka berhenti saja berakumulasi, artinya mereka tengah bunuh diri. Para pesaingnya dengan mudah merebut pangsa pasarnya; bahan baku mereka dapat kapan saja habis; teknologinya akan ketinggalan jika tidak inovasi; para pekerja mereka akan terus menua; kekayaan mereka di bank akan tergerus inflasi; dan bagi kapitalis super kaya, sistem politik yang berubah dapat kapan saja mengadilinya atas kejahatan perusakan alam atau eksploitasi manusia yang mereka lakukan.

Menghentikan Kapitalisme, Menyelamatkan Bumi

Tindakan barbar sistem ekonomi yang berlangsung saat ini, telah merusak segala lini alam semesta. Di bagian pengantar tulisan berseri ini,[17] saya telah menunjukan tentang kemunculan wabah penyakit bagi manusia. Patogen yang hidupnya berparasit pada media tertentu—habitat alaminya adalah di hewan liar—karena perusakan alam yang masif, telah membuat tempatnya berparasit semakin punah. Untuk dapat bertahan hidup patogen ini terus bermutasi, itu mengapa jenis virus corona ada begitu banyak (salah satunya Coronavirus Diseases 2019 atau Covid-19). Saat ini, habitat patogen begitu dekat dengan manusia, apalagi makanan dari hewan liar menjadi sektor yang terus menerus dikapitalisasi karena potensi keuntungan yang besar.[18] Berbagai wabah seperti flu spanyol, Ebola, SARS, MERS, H1N1, hingga Covid-19 terjadi sebagai dampak dari proses sirkulasi modal yang memaksa patogen berparasit di tubuh manusia.

Para pemilik modal telah mengakumulasi modal kekayaan dengan cara merampok alam hingga rusak dan mengeksploitasi pekerja hingga reproduksi sosialnya terganggu. Dua hal itu dilakukan demi mencapai maksimalisasi keuntungan. Atas dorongan akumulasi, kita dapat melihat bahwa hampir seluruh hal yang ada di Bumi ini berupaya dikapitalisasi untuk menjadi keuntungan bagi segelintir pemilik modal. Namun, keuntungan dari segelintir orang itu telah mengakibatkan malapetaka bagi seluruh kehidupan di planet ini—terutama bagi kelas pekerja. Dampaknya, perubahan iklim membawa planet ini terus mendekati kehancuran dan wabah penyakit akibat mutasi patogen terus mengancam populasi manusia.

Kita harus menyadari bahwa masalah ekologis saat ini terkait dengan sistem ketidaksetaraan global yang mensyaratkan penghancuran ekologis dan eksploitasi pekerja. Dengan demikian, kelas pekerja bukanlah “virus” yang merusak Bumi, tetapi justru kelas pekerja adalah korban dari sistem ekonomi kita saat ini. Pada saat krisis ekonomi atau krisis ekologi, kelas pekerja adalah orang yang paling menerima dampaknya padahal mereka tidak menjadi penyebab krisis tersebut.

Krisis diproduksi oleh cara kerja kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi-politik, bukan oleh individu per individu. Sehingga untuk melindungi keberlanjutan kehidupan manusia di masa depan dan alam semesta secara keseluruhan, maka kita perlu menghentikan sistem kapitalisme ini. Tanpa itu, sistem ini akan terus memproduksi keuntungan materi untuk segelintir orang dengan mengorbankan banyak orang.

*** *** ***

Dalam menyikapi wabah yang mengancam kepunahan manusia, saya akan menyajikan delapan tulisan berseri dengan tema utama “Pagebluk Covid-19 sebagai Bencana Kapitalisme: Permasalahan dan Perjuangan ke Depan”. Dalam tulisan berseri ini akan menunjukan akar permasalahan kemunculan berbagai wabah penyakit yang mengancam kehidupan manusia dan keberlangsungan alam semesta. Selain itu, juga menawarkan agenda perjuangan ke depan untuk menciptakan dunia yang lebih baik.

Tulisan berseri ini akan diterbitkan secara berkala, sehingga jangan lupa subscribe/berlangganan secara gratis website bukuprogresif.com melalui form di bawah. Adapun tema dari tulisan berseri ini adalah sebagai berikut:

  1. PENGANTAR: Pagebluk Covid-19 sebagai Bencana Kapitalisme
  2. Dorongan Akumulasi telah Menghasilkan Kekayaan untuk Segelintir Orang, Wabah Penyakit bagi Banyak Orang
  3. Pagebluk Covid-19: Ideologi Pertumbuhan Ekonomi Menggadaikan Keselamatan Warga
  4. Sejarah Pagebluk terus Berulang: Pertama sebagai Tragedi, Berikutnya sebagai Lelucon
  5. Covid-19 bukan Penyebab Krisis Ekonomi, Covid-19 hanya Penyulut
  6. Kedermawanan bukanlah Solusi, Tak Akan Bisa Menyembuhkan “Penyakit” di Masyarakat Kita
  7. Tidak Kerja, Tidak Makan, Bekerja dihantui Wabah Kematian: Kondisi Kelas Pekerja di Tengah Pagebluk Covid-19
  8. Neoliberalisasi Menguras Dana Publik, Menjauhkan dari Upaya Perlindungan bagi Kelas Pekerja
  9. Menghentikan Pagebluk, Menghentikan Kapitalisme: Proyek Politik ke Depan

[1] Mike Davis, “Mike Davis on Coronavirus: “In a Plague Year”, Jacobin Magazine (14 Maret 2020).

[2] Lihat: Media Kompas, “Kasus Positif Corona Terus Bertambah, Bagaimana Cara Melindungi Diri dari Covid-19?”, Kompas (29 Maret 2020).

[3] Lihat The Guardian, “Coronavirus Pandemic Leading to Huge Drop in Air Pollution” (23 Maret 2020).

[4] Lihat The Guardian, “’Nature is Taking Back Venice’: Wildlife Returns to Tourist-Free City” (20 Maret 2020).

[5] Salah satu tweet yang banyak dibagikan dan disukai adalah tweet ini: https://twitter.com/thomasschuiz/status/1239935787619115012

[6] Lihat The Guardian, “Just 100 Companies Responsible for 71% of Global Emissions, Study Says” (10 Juli 2017)

[7] Jessica Corbett, “In Just One Decade, Corporations Destroyed 50 Million Hectares of Forest—An Area the Size of Spain”, Common Dream (11 Juni 2019)

[8] Lihat University of Leeds, “Shining a Light on International Energy Inequality” (16 Maret 2020).

[9] Siobhan Wagner, “Can You Own a Private Jet If You Care About Climate Change?”, Bloomberg (22 Desember 2019)

[10] Herman Pontzer, “Overview of Hominin Evolution”, Nature Education Knowledge 3(10):8 (2012).

[11] Fred Magdoff dan John Bellamy Foster, What Every Environmentalist Needs to Know About Capitalism: A Citizen’s Guide to Capitalism and the Environment (New York: Monthly Review Press, 2011)

[12] Ibid.

[13] John Bellamy Foster, “Making War on Planet”, Monthly Review, Volume 70, Nomor 4 (September 2018).

[14] Ellen Meiksins Wood, The Origin of Capitalism: A Longer View (London: Verso, 2017).

[15] Karl Marx, Grundrisse (London: Penguin, 1973), 334-35,

[16] Karl Marx, Capital, vol. 1 (New York: International Publishers, 1967)

[17] Lihat: Arif Novianto, “Pagebluk Covid-19 sebagai Bencana Kapitalisme: Permasalahan dan Perjuangan ke Depan”, Buku Progresif, sumber: https://bukuprogresif.com/2020/03/27/pagebluk-covid-19-sebagai-bencana-kapitalisme-permasalahan-dan-perjuangan-ke-depan/

[18] Emma G. E. Brooks, Scott I. Robertson, and Diana J. Bell, “The Conservation Impact of Commercial Wildlife Farming of Porcupines in Vietnam,” Biological Conservation 143, no. 11 (2010): 2808–14.

_______________
Arif Novianto
Peneliti Muda di Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) – Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Editor di Penerbit Independen (PIN).
Penulis dapat dihubungi di akun twitternya: @arifnovianto_id atau Instagram: @arifnovianto_id

________________________________
Jika
kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.

Untuk mendapatkan email secara otomatis dari kami jika ada tulisan terbaru di bukuprogresif.com, silahkan masukan email anda di bawah ini dan klik Subscribe/Berlangganan. Setelah itu, kami akan mengirimkan email ke anda dan silahkan buka dan konfirmasi.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?